Kamis, 03 Juni 2010

Guruku Ngojek

Guruku Ngojek

“Badhe tindak pundi Mas?” (Mau kemana Mas) Tanya seorang tukang ojek.

“Condong Catur, Pak. Pinten ongkosipun.” (Ke Condong Catur, berapa ongkosnya) Tanyaku.

“Lha nggih manut mawon….Mase badhe maringi pinten.” (Turut - ikut saja , Mas mau memberi ongkos berapa) Jawab tukang ojek itu. Mendengar jawaban tukang ojek, aku cuma bisa garuk-garuk kepala.

Siang itu, pergilah aku ke Condong Catur, ngojek. Diperjalanan, bapak tukang ojek ini termasuk penyabar. Tak pernah ngebut, apalagi berinisiatif mendahului kendaraan yang lain. No way.

“Medhak pundi Mas.” (Turun dimana, Mas) Tukang ojek menanyaiku.

“Oh…mriki mawon Pak.” (Disini saja, Pak) Jawabku.

Uang selembar puluhan ribu kuberikan kepadanya.

“Wah, cekap gangsal ewu kemawon.” (Cukup lima ribu saja) Bapak itu mau mengembalikan uang lima ribuan seraya membuka helmnya. Aku agak terperanjat, sepertinya aku mengenal Bapak ini.

“Nyuwun pangapunten, Pak. Punapa Bapak punika pak Is, guru kula rikala SMP.” (Mohon maaf, apakah Anda pak Is, guru saya sewaktu SMP) Tanyaku.

“Lho, panjenengan punika sinten nggih, kula kog supen”. (Anda siapa, saya kog lupa).

“Kula riyin murid Bapak. Kula Marsudi, Florensius Marsudi.” (Saya dulu murid Bapak. Saya Marsudi, Florensius Marsudi)

“Oalah Mas…Mas. Lha kog brengose nepleng…” (yang ini tak usah diterjemahkan….ha…ha)

Tiba-tiba pak Is (tukang ojek itu) memelukku. Kurang lebih 25 tahun, aku tak pernah berjumpa dengan pak Is. Di warung pinggir jalan itu, pak Is kuajak duduk. Kami ditemani dua botol teh dingin. Camilan ala kadarnya. Beliau masih ingat ketika memlintir telingaku sampai merah menyala (ngaku ne….nakal). Dua hari sakitnya belum hilang. Ampun nian.

Pak Is bercerita tentang suka dukanya menjadi guru, apalagi sekarang sudah pensiun. Untuk menyambung hidup ia ngojek, sementara satu anaknya masih kuliah. Anaknya yang kuliah juga membuka usaha tambal ban di pinggir jalan.

“Mas Marsudi, dados tukang ojek punika hasilipun alit. Ingkang penting halal.” (Menjadi pengojek berpenghasilan kecil, yang penting halal). Kata pak Is menutup perjumpaan kami.

Ah, pak Is….pak Is. Terpujilah engkau pak Is. Guruku.

Sumber : www.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar